Berdasarkan
Arkeologi (ilmu yang mempelajari peninggalan purbakala dari manusia pra
sejarah), perkembangan budaya manusia Indonesia dapat di golongkan
menjadi beberapa periode yaitu periode jaman batu (batu tua, batu
tengah, batu muda, dan jaman logam perunggu).
JAMAN BATU
Paleolithikum (batu tua)
Ciri
dari jaman ini adalah peralatan buat dari batu masih kasar dan belum di
asah. Alat dari batu ini di buat dengan cara membenturkan batu yang
satu dengan yang lainnya, pecahan batu yang menyerupai kapak kemudian
mereka gunakan sebagai alat.
Cara
hidup manusia pada jaman plleolithikum adalah: nomad dalam kelompok
kecil, tinggal dalam gua atau ceruk karang, berburu, mengumpulkan
makanan (food gathering). Menurut Teuku Jacob, bahasa sebagai alat
komunikasi telah ada dalam tingkat sederhana.
Berdasarkan
tempat penemuannya, jaman palleolithikum terbagi atas kebudayaan
Pacitan dan Ngandong. Pada kebudayaan pacitan, peralatan yang di
hasilkan adalah kapak genggam, alat penetak (chopper), yang ditemukan
oleh Koenigswald pada tahun 1935. Selain di Pacitan, alat – alat
tersebut di temukan pula di beberapa daerah seperti : Sukabumi (Jabar) ,
Parigi, Gombong, (Jateng) , Lahat (Sumsel), Lampung , Bali, Sumbawa,
Flores, Sulsel, Kalsel dan Timor. Alat-alat tersebut di temukan pada
lapisan yang sama dengan di temukannya fosil Pitechanthropus Erectus.
Pada
kebudayaan ngandong, peralatan yang ditemukan adalah flakes (alat
serpih) berupa pisau atau alat penusuk. Disamping itu ditemukan pula
peralatan dari tulang dan tanduk berupa belati, mata tombak yang
bergerigi, alat pengorek ubi, tanduk menjangan yang diruncingkan dan
duri ikan pari yang diruncingkan. Alat-alat tersebut ditemukan pula di
daerah lain seperti di Sangiran dan Sargen (Jateng). Manusia pendukung
kebudayaan Ngandong adalah Homo Soloensis dan Homo Wajakensis, karena di
temukan pada lapisan tanah yang sama dengan ditemukannya peralatan
kebudayaan Ngandong.
Mesolitihkum (batu tengah)
Ciri
dari jaman ini adalah peralatan dari batu yang telah di asah bagian
sisi tajamnya. Jaman ini merupakan peralihan dari Palleolithikum ke
Neolithikum. Yang menarik dari jaman Messolithikum adalah di temukannya
tumpukan sampah dapur yang kemudian di beri istilah Kjokkenmoddinger dan
Abris sous roche oleh penelitinya yaitu Callenfels yang juga digelari
sebagai bapak prasejarah).
Kjokkenmoddinger
adalah tumpukan kulit kerang dan siput yang telah membatu, yang banyak
di jumpai di pinggir pantai. Sedangkan Abris sous roche adalah tumpukan
dari sisa makanan yang telah membatu di dalam gua.
Cara
hidup Messolhitikum adalah sebagian masih food gathering dan berburu
tetapi sebagian telah menetap dalam gua dan bercocok tanam sederhana
(berladang) menanam umbi-umbian. Mereka juga telah pula menjinakan hewan
dan menyimpan hewan-hewan buruannya sebagai langkah awal untuk
berternak.
Mereka
telah membuat gerabah, mengenal kesenian dalam bentuk lukisan di
dinding gua (lukisan gua) ketika mereka telah menetap. Lukisan tersebut
berupa gambar telapak tangan berlatar belakang warna merah , gambar babi
rusa yang tertancap Panah (di gua Leang-Leang, Sulsel). Penelitiannya
dilakukan oleh Heekren Palm pada tahun 1950 di gua pulau Muna , dimana
berhasil di temukan berbagai lukisan manusia, kuda, rusa, buaya, anjing.
Sedangkan di Maluku dan Papua ditemukan lukisan gua dalam bentuk gambar
cap tangan, kadal, manusia, burung, perahu, mata, dan matahari.
Pada
jaman Messolhituikum terbagi atas 3 kelompok budaya : kebudayaan flakes
(fleks culture), kebudayaan pebble (pebble culture) , dan kebudayaan
tulang (bone culture). kebudayaan ini di dukung oleh manusia dari jenis
papua melanesoid yang berasal dari Indo China .
Flakes
culture atau peralatan berupa alat serpih, yang telah ada sejak jaman
Palleolithikum, menjadi sangat penting pada jaman messolithikum karena
memunculkan corak tersendiri. Terutama
setelah mendapatkan pengaruh dari budaya daratan. Dua orang peneliti
berkebangsaan Swiss (Fritz Sarasin dan Paul Sarasin ) antara tahun
1893-1896, melakukan penelitian di Sulsel, dan berhasil menemukan fleks .
Peralatan sejenis juga di temukan di daerah lain yaitu Bandung (fleks
dari obsidian yaitu batu hitam yang indah), Flores, NTT dan Timor.
Flakes culture merupakan pengaruh dari Asia daratan yang masuk ke
Indonesia melalui jalur timur yaitu Jepang, Taiwan, Philipina, Sulawesi.
Pebble
culture, peralatan berupa kapak genggam sumatera (pebble), kapak pendek
(hacte curte), batu penggiling, dan pisau. Callenfels pada 1925,
melakukan penelitian di pesisir Sumatera dan menemukan peralatan di atas
bersama Kjokkenmoddinger. Pebble culture merupakan pengaruh dari
kebudayaan Bacson Hoabinh (Indo china) yang masuk ke Indonesia melalui
jalur barat yaitu Malaka dan Sumatera.
Bone
culture, penelitian di lakukan oleh Callenfels 1928-1931 di Sampung
Ponorogo. Peralatan tersebut ditemukan bersama dengan Abris sous roche
di dalam gua. Di gua-gua juga ditemukan fosil dari jenis manusia Papua
Melanesoide, yang merupakan nenek moyang orang Papua (Irian). Peralatan
dan fosil sejenis di temukan pula di Besuki dan Bojonegoro.
Neolhitikum (batu muda)
Ciri
jaman batu muda adalah pemakaian peralatan dari batu yang telah diasah
halus karena telah mengenal tehnik mengasah. Pada jaman ini terjadi
revolusi kehidupan yaitu perubahan dari kehidupan nomad dengan food
gathering menjadi menetap dengan food producing.
Cara
hidup pada jaman neolithikum adalah hidup menetap, bertempat tinggal
dekat sumber air, food producing (menghasilkan makanan dari bercocok
tanam dan berternak walaupun berburu masih dilakukan terutama pada waktu
senggang), membuat rumah bertonggak dengan atap dari daun-daunan
membuat kain dari kulit kayu (ditemukan pemukul kulit kayu), membuat
perahu atau rakit, membuat perhiasan dari batu-batu kecil indah.
Menurut
penelitian mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu
polinesia. Pada akhir jaman ini telah dikenal kepercayaan dalam bentuk
Animisme (kepercayaan tentang adanya arwah nenek moyang yang memiliki
kekuatan gaib) dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang
dianggap memilki kekuatan gaib). Mereka percaya bahwa setelah mati ada
kehidupan lain sehingga di adakanlah berbagai upacara terutama bagi
kepala sukunya. Mayat yang dikubur disertai dengan berbagai macam benda
sebagai bekal di alam lain, dan sebagai peringatan maka di bangunlah
berbagai monument (bangunan) yang rutin diberi sajian agar arwah yang
meninggal (leluhur) melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi
sukunya.
Pada
jaman ini pembuatan gerabah memegang peranan penting sebagai wadah atau
tempat dalam kehidupan sehari-hari. Adapula gerabah yang digunakan
untuk keperluan upacara dan gerabah yang dibuat dengan indah baik bentuk
maupun hiasannya.
Berdasarkan
peralatannya kebudayaan jaman neolitihkum di bedakan menjadi kebudayaan
kapak persegi dan kapak lonjong berasal dari Heine Geldern berdasarkan
kepada penampang yang berbentuk persegi panjang dan lonjong.
Kebudayaan kapak persegi
Kebudayaan
kapak persegi berasal dari Asia daratan yang menyebar ke Indonesia
melalui jalur barat melalui Malaka, Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, dan Nusatenggara. Terdapat kapak persegi ukuran kecil (di
gunakan sebagai fungsi kapak) dan yang ukuran besar (digunakan sebagai
fungsi beliung atau cangkul). Dibeberapa daerah ditemukan bekas-bekas
pusat kerajinan kapak persegi seperti di Lahat (Palembang), Bogor,
Sukabumi, Purwakarta, Tasik (Jabar), Pacitan (Jatim). Kebudayaan kapak
persegi di dukung oleh manusia Proto Melayu (Melayu Tua) yang migrasi ke
Indonesia menggunakan perahu bercadik sekitar 2000 SM (Sebelum Masehi).
Yang merupakan keturunan ras Melayu Tua adalah suku Sasak , Toraja,
Batak dan Dayak . Di Minahasa (Sulut) di temukan kapak bahu, sejenis
kapak persegi di beri leher untuk pegangannya.
Kebudayaan kapak lonjong
Ukuran
kapak lonjong ada yang besar (walzenbeli) dan kecil (kinbeli), sering
di sebut dengan istilah Neolith Papua karena penyebarannya terbatas di
Irian saja oleh bangsa Papua Melaneside. Dari peralatan yang ditemukan,
baik kapak persegi maupun kapak lonjong di buat dari batu api
(chalcedon), terdapat pula kapak yang tidak terdapat tanda-tanda bekas
dipakai dalam bentuk yang indah (sebagai alat berharga, lambang
kebesaran atau jimat).
JAMAN LOGAM
Jaman perunggu
Kebudayaan
perunggu di Asia Tenggara merupakan pengaruh dari kebudayaan Dongson,
yang berkembang di Vietnam. Geldern berpendapat bahwa kebudayaan Dongson
berkembang paling muda sekitar 300 SM (sebelum Masehi). Pendukung
kebudayaan perunggu adalah bangsa Deuteuro Melayu (Melayu Muda) yang
migrasi ke Indonesia sambil membawa kebudayaan Dongson. Keturunannya
adalah Jawa, Bali, Bugis, Madura, dll. Bahkan ditemukan beberapa bukti
bahwa telah terjadi pembaruan antara Melayu Monggoloide (Proto melayu
dengan Deuteuro melayu) dan Papua Melaneside.
Ciri
jaman perunggu adalah pemakaian peralatan dari logam yang dikembangkan
melalui tehnik bivalve (rangkap) dan a cire perdue (cetak lilin). Namun
bukanlah berarti setelah itu peralatan dari batu dan gerabah di
tinggalkan karena masih terus dipergunakan bahkan sampai sekarang .
Ciri
kehidupan pada jaman perunggu adalah telah terbentuk perkampungan yang
teratur dipimpin oleh kepala suku atau ketua adat, tinggal di dalam
rumah bertiang yang besar yang bagian bawahnya dijadikan tempat ternak,
bertani (berladang dan bersawah) dengan sistem irigasi sehingga
pengairan tidak selalu bergantung kepada hujan.
Telah
terdapat pembagian kerja berdasarkan keahlian sehingga munculah
kelompok undagi (tukang yang ahli membuat peralatan logam). Mereka telah
menguasai ilmu Astronomi (untuk kepentingan pelayaran dan pertanian )
dan membuat perahu bercadik.
Beberapa
hasil budaya pada jaman perunggu adalah kapak corong (kapak sepatu),
candrasa (kapak corong yang salah satu sisinya memanjang), terdapat
candrasa dan kapak corong yang indah dan tidak ada tanda-tanda bekas di
gunakan. Nekara (seperti dandang tertulungkup), moko (nekara yang lebih
kecil), terdapat berbagai perhiasan seperti garis lurus , piln-pilin,
binatang, rumah, perahu, lukisan orang berburu, tari dan lukisan orang
China (monggol).
Selain
itu mereka membuat bejana perunggu (berbentuk seperti periuk yang
gepeng) dengan hiasan indah (dalam bentuk garis dan burung merak), arca
perunggu (ditemukan di Bangkinag – Sulsel , Bogor - Jabar, dan Riau )
serta perhiasan perunggu seperti gelang, kalung, anting, dan cincin.
Kebudayaan megalithikum (batu besar)
Di
sebut kebudayaan batu besar karena pada umumnya menghasilkan kebudayaan
dalam bentuk monument yang terbuat dari batu berukuran besar.
Kebudayaan ini muncul pada akhir jaman neolhitikum, tetapi
perkembangannya justru terjadi pada jaman perunggu (kebudayaan Dongson).
Hasil-hasil
dari kebudayaan megalithikum memberikan petunjuk kepada kita mengenal
perkembangan kepercayaan, terutama pemujaan terhadap arwah nenek moyang,
yang memang telah mulai nampak pada akhir jaman neolithikum.
Berikut
ini adalah hasil-hasil budaya megalhitikum : Menhir atau tugu batu yang
terbuat dari batu tunggal, yang berfungsi sebagai tanda peringatan dan
melambangkan arwah nenek moyang sehingga menjadi benda pemujaan. Menhir
banyak di temukan di Pasemah, Lahat, Sungai Talang Koto (Sumatera),
Nagada (Flores).
Dolmen
atau meja batu tempat sesaji, ada yang di sangga oleh menhir dan ada
pula yang digunakan sebagai penutup keranda atau sarchopagus, yang
demikian dinamakan dengan pandhusa. Sarcophagus (keranda) adalah peti
mati tempat penyimpanan mayat yang berbentuk lesung terbuat dari batu
utuh yang diberi tutup. Di Bali di temukan keranda yang berisi tulang
belulang manusia, barang perunggu serta manik-manik.
Kubur
batu, peti mayat yang di pendam di dalam tanah berbentuk persegi
panjang dengan ke empat sisinya di buat dari lempengan – lempengan batu.
Ada pula yang di sebut waruga, yaitu kubur batu yang berbentuk bulat.
Kubur batu banyak di temukan di Kuningan (Jabar), Pasemah (Sumatera),
Wonosari (Yogja) dan Cepu (Jateng).
Punden
berundak, bangunan pemujaan terhadap roh nenek moyang yang berupa
susunan batu bertingkat, banyak ditemukan di Banten, Garut, Kuningan,
Sukabumi (Jabar). Dalam perkembangan selanjutnya, punden berundak
merupakan dasar dalam pembuatan candi, bangunan keagamaan maupun istana.
Selain
itu di temukan pula hasil budaya megalithikum dalam bentuk patung atau
arca manusia yang menggambarkan wujud nenek moyang atau arca binatang.
Patung banyak di temukan di daerah Pasemah (Sumatera), sementara di di
lembah Bada (Sulteng) ditemukan patung manusia (laki- laki dan
perempuan).