Senin, 16 Juli 2012

perang dingin ke dua

 perang dingin ke dua

Istilah ”Perang Dingin” pertama kali diperkenalkan Bernard Baruch dan Walter Lippman, 1947, untuk menggambarkan persaingan Amerika Serikat dengan Uni Soviet kala itu.
Kedua negara yang berstatus superpower karena telah memenangi perang itu berbeda pendapat dalam cara untuk membangun wilayah Eropa pascaperang. Akibatnya, mereka bersaing secara ideologi, militer, teknologi, industri, dan sebagainya untuk meluaskan pengaruhnya di Eropa ataupun dunia.
Meskipun persaingan antara AS dan US ini tidak pernah sampai pada perang terbuka, telah terjadi dua perang dari negara ”pengikut”-nya (proxy war), baik dalam Perang Korea (Korea Utara yang mewakili US dan Korea Selatan yang mewakili AS) maupun Perang Vietnam (Vietnam Utara mewakili US dan Vietnam Selatan mewakili AS). Perang Dingin juga telah menyebabkan sejumlah krisis, seperti di Kuba dan Timur Tengah, serta pembagian Jerman menjadi dua wilayah antara Barat dan Timur.
Perang Dingin secara resmi berakhir pada akhir 1980-an ketika Pemimpin US Mikhail Gorbachev meluncurkan program reformasi: perestroika dan glasnost. Secara konstan, US pun kehilangan kekuatan dan kekuasaan terhadap Eropa Timur dan banyak wilayah lainnya. Akhirnya negaranya sendiri dibubarkan pada 1991.
Praktis sejak runtuhnya US, dunia memasuki fase yang disebut Francis Fukuyama sebagai kemenangan universal demokrasi liberal yang sangat diidamkan. Hal ini yang kemudian melahirkan sistem yang berbeda dari bipolaritas (AS-US) dengan kemunculan beberapa negara berkekuatan besar meski AS tetap sebagai kekuatan paling dominan di dalam sistem tersebut.
Namun, sebagaimana dikatakan oleh Kenneth Waltz (1986), ilmuwan neo-realis hubungan internasional terkemuka, dalam politik internasional di mana sistem berjalan anarkis, perimbangan kekuatan akan terus bekerja mengiringi negara yang paling dominan. Itu artinya setiap negara akan terus berupaya agar bisa mengimbangi kekuatan AS.
Negara-negara yang memiliki kekuatan terbatas dan lemah akan cenderung mengaliansikan dirinya dengan negara-negara berkekuatan besar agar dapat mempertahankan otonomi maksimumnya dari dominasi AS.


REPUBLIKA.CO.ID, Seorang analis politik menilai, AS dan NATO mengembangkan kekuatan yang agresif dan ekspansif demi melanjutkan Perang Dingin. ''Perpecahan Uni Soviet dan Yugoslavia, serta bekas Uni Soviet dan bekas Yugoslavia yang makin dalam terkait, bahkan lebih dari terkait, dengan pengembangan kekuatan militer NATO yang terkesan makin ekspansif dan agresif,'' ujar Rick Rozoff, sang analis, dalam situs Global Research.

Dia mengatakan, 21 negara dan lima negara pecahan kecil termasuk Kosovo telah membuka peluang untuk Barat sehingga dapat mengembangkan sayap dari wilayah kekuasaan NATO di era Perang Dingin.
Saat ini sekitar 21 negara bekas pecahan Soviet dan republik federal Yugoslavia sekarang menjadi anggota penuh NATO atau bila tidak mereka terlibat dalam program kemitraan. Bahkan, 13 negara mengerahkan militernya di bawah komando NATO di Afghanistan.
Belakangan, NATO juga mengumumkan akan melakukan latihan militer tahunan untuk menyatukan mitranya di wilayah Balkan, bekas Uni Soviet, Mediterania Timur, dan Teluk Persia.
Bagai Rozoff, latihan ini dilakukan berdasarkan skenario 'respons krisis' dan mandat PBB. ''Seperti yang terjadi di Libya tahun lalu, misalnya,'' ujar Rozoff.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar